- Peringatan. Tulisan ini mengandung spoiler. Tidak disarankan untuk Anda yang belum menonton filmnya.
Trivia
Mendengar atau membaca kata The Lobster, bukan hal aneh jika yang dipikirkan adalah binatang mirip udang. Bercapit dan hidup di dasar laut. Tersaji kemerahan, di piring hidangan berkelas sebuah restoran mahal. Tapi, bukan itu gagasan dalam film ini.
The Lobster adalah komedi hitam, tentang distopia yang absurd. Kandidat Palme d’Or di Festival Film Cannes 2015 juga kampiun Jury Prize . Tampil secara khusus di Festival Film Internasional Toronto 2015. Dinominasikan untuk Skenario Asli Terbaik di 89th Academy Awards dan Outstanding British Film di 69th British Academy Film Awards .
Plot absurd The Lobster
Lobster di film The Lobster besutan Yorgos Lanthimos adalah konsekuensi absurd hidup menjomblo. Berwujud pertanyaan. “Ingin jadi hewan apa kamu nantinya jika tidak berhasil mendapat pasangan?”.
Di masa depan distopia rekaan Yorgos, semua manusia wajib punya pasangan. Mereka yang sendirian-entah ditinggalkan atau berpisah, akan dikirim paksa ke sebuah hotel.
Baca juga: Girl From Nowhere (2018): Karena Sesama Perempuan Harus Saling Bantu
Mereka disiapkan untuk bertemu pasangan baru, di hotel tersebut selama 45 hari. Yang gagal, ditransformasi jadi binatang. Mereka bebas memilih ingin melanjutkan sisa hidupnya sebagai binatang apa.
Cerita diawali saat karakter utama, David, yang diperankan oleh Colin Farrel, ditinggal pergi oleh istrinya. Dia terpaksa mengikuti sistem aneh yang berlaku di negaranya. Seperti di penjara, rutinitasnya dalam hotel dibatasi berbagai macam aturan.
Tidak boleh merokok. Tidak boleh menggunakan fasilitas orang yang punya pasangan. Tidak ada masturbasi. Pakaian mesti seragam.
Humor satire dan nuansa depresif
Dibalut humor satire, film ini menyindir romansa yang mengikat. Secara bersamaan, juga mengkritik kelompok pemberontak-anti cinta, yang memilih menghidupi dirinya sendiri (loner) di hutan.
Kelompok inilah yang jadi sasaran para tamu hotel. Demi menambah jatah hari mereka mencari pasangan—atau hidup sebagai manusia. Bagi para tamu hotel, satu loner di hutan yang ditangkap berarti satu tambahan hari untuk hidup sebagai manusia. Yang berarti kesempatan lain untuk menemukan pasangan.
Baca juga: Mary Poppins Returns (2018) dan Selubung Sosialisme
Kebutuhan akan pasangan dalam aturan main dunia The Lobster telah mencapai titik yang menyebalkan. Suatu hubungan tidak lagi dilandaskan pada afeksi, emosi, dan keintiman. Semuanya jadi tentang bertahan hidup sebagai manusia.
Tidak heran jika film ini dipenuhi nuansa depresif. Mulai dari kecenderungan menjadi konformis, yang mana itu membosankan. Hingga pilihan bunuh diri.
Kritik terhadap standar dan citra
David harus membayar mahal kepura-puraannya jadi manusia tanpa perasaan. Untuk memikat seorang perempuan berperangai dingin. Tujuan utamanya adalah menyelamatkan diri agar tidak berakhir jadi lobster. Semuanya lancar hingga tiba suatu pagi, David dibangunkan oleh sang pasangan yang telah membunuh kakaknya dengan beberapa tendangan.
Dalam adegan lain, seorang lelaki harus membenturkan kepalanya ke meja atau dinding setiap saat. Agar hidungnya tampak seperti mimisan. Semuanya demi menggaet simpati seorang perempuan mimisan.
Baca juga: Capharnaum (2018) dan Anak-anak Dalam Neraka Pengasuhan
Penampakan kasat mata yang seragam–fisik atau mental, adalah salah satu poin yang sengaja ditonjolkan manajemen hotel. Persis aplikasi kencan atau reality show macam take me out yang menjamur belakangan. Semuanya tentang citra.
Penonton, jika tidak terbiasa menikmati film yang melawan arus seperti ini-mungkin akan mengernyitkan dahi. Menyaksikan karakter-karakter yang tampil kaku, datar, seolah tanpa emosi dan perasaan.
Sinematografi dan scoring
Tone film ini ambigu dan cenderung monoton. Elemen musik yang digunakan, bagi telinga saya justru terdengar cocok sebagai pengiring film horor dengan hentakan-hentakannya yang khas.
Saya harus berhenti menonton di 10 menit pertama karena tidak tahan melihat ekspresi kelam karakter utama. Yang juga artinya, ia berhasil menjiwai perannya. Dan hari ini, saya kembali menonton dari awal dan menyelesaikan filmnya. Lalu berpikir.
Baca juga: System Crasher (2019): Label Sosial yang Menciptakan Anak-anak Bermasalah
Seandainya saja beberapa puluh tahun lagi, sistem yang sama berlaku di negara ini. Mungkin saja. Mengingat sapiens yang duduk di legislasi makin tertarik mencampuri urusan personal masyarakat hingga ke ranjang. Apakah kamu siap diubah jadi binatang?
Binatang apa? Apakah kamu akan memilih hidup berpasangan dalam segala kepalsuan? Atau menolak keduanya, dan mengisolasi diri di hutan, bermasturbasi kapan saja, dan menggali kuburmu sendirian? Hihi.