- Peringatan. Tulisan ini mengandung spoiler. Tidak disarankan untuk Anda yang belum menonton filmnya.
Bercerita lewat warna dari kamera 16mm
Martin Eden diadaptasi dari sebuah novel tahun 1909 oleh Jack London yang berjudul sama. Namun, kisah perjalanannya tidak akan dramatis tanpa sentuhan sinematik yang unik. Untuk itu, Pietro Marcello dan para kru nya layak mendapatkan apresiasi.
Ada adegan tentang pemogokan buruh yang sedang marak. Sosialisme tumbuh subur di perkotaan. Perang yang akan meledak. Semuanya direkam dengan kamera 16mm. Membuat film ini jadi kelihatan sangat jadul. Hal inilah yang membuat nuansa abad 20 terasa sangat nyata.
Baca juga: Black Mirror-The National Anthem (2011): Pengantar yang Gelap Menyambut Masa Depan
Pietro mengandalkan masa lalu karakternya untuk membangun cerita. Menggunakan komposisi warna yang tegas untuk setiap ingatan yang ditampilkan.
Ingatan melankolis Martin Eden direpresentasikan dengan tone warna biru kontras. Sedangkan ingatan tentang karakter lain menggunakan warna sepia. Beberapa potongan rekaman jadul berhasil melengkapi usaha untuk menghidupkan suasana.
Bukan tanpa kekurangan. Beberapa adegan kilas balik terkadang hadir tanpa tujuan yang jelas. Entah hanya untuk menciptakan suasana abad 20, atau memiliki makna tertentu. Adegan sekumpulan anak berenang dan mengumpulkan gurita misalnya, rasanya agak keluar dari narasi utama.
Plot
Hidup Martin Eden terkatung-katung hanya untuk menafkahi diri. Setelah dipecat dari pekerjaannya di kapal, ia menghadapi beragam masalah finansial.
Di tengah realitas semacam itu, pilihannya jatuh pada karir sebagai penulis. Ide ini berawal dari pertemuannya dengan Elena. Martin jatuh cinta sejak pandangan pertama.
Baca juga: Sisi Gelap Para Pastor di Boston dalam Spotlight (2015)
Di tengah usahanya untuk menghidupi diri dari menulis, perjalanan cinta Martin harus berakhir. Latar belakangnya sebagai kelas pekerja membuatnya terasing dari gemerlap kehidupan keluarga Elena yang kaya dan berpendidikan.
Kontrasnya kehidupan Martin dan Elena ini jadi titik balik karir kepenulisan Martin yang sesungguhnya. Dia menyadari berbagai hal secara perlahan—dalam usahanya bertahan hidup dengan latar belakang kelas sosial sebagai kelas pekerja.
Mimpi-mimpi kolektif vs hasrat individual
Di luar cerita tentang dunia kepenulisan, film yang dirilis tahun 2019 ini adalah tentang mimpi-mimpi kolektif melawan hasrat individual. Karakter Martin Eden digambarkan sebagai sosok individualis Nietzschean. Jenis pemikiran yang berseberangan dengan semangat kolektif kelas pekerja di lingkungannya.
Beberapa adegan seperti pemogokan buruh dan orasi yang menjual mimpi-mipi sosialisme mewarnai lingkungan Martin. Pengaruh filosofis dari Spencer yang liberal, ditambah usaha mengejar status sosial sang pujaan hati—membuatnya makin terasing dari lingkungan kelas pekerja.
Pietro sepertinya berusaha tidak mengabaikan realitas ekonomi dalam filmnya. Di awal cerita, kita seolah diajak untuk lari bersama Martin Eden. Menghiraukan setiap usaha untuk melakukan perubahan struktural dalam masyarakat. Sekedar fokus banting tulang—mengejar status sosial dan ekonomi yang lebih tinggi. Memupuk harapan. Menjadi tenar.
Baca juga: Kekerasan yang Mengintai Anak-anak dalam Silenced (2011)
Namun, belum sempat benar-benar melarikan diri, Pietro memunculkan karakter Russ Brissenden (Carlo Cecchi). Seorang sosialis tua. Dia berperan sebagai mentor Martin. Orang bijak yang memberi nasihat, bahwa kolektivisme merupakan “satu-satunya hal yang dapat menyelamatkan kita dari kekecewaan yang akan datang kelak“.
Russ benar. Setidaknya dalam film ini. Di akhir cerita, Martin jadi penulis sukses yang kaya raya namun kehilangan harapan. Hidupnya menjadi benar-benar hampa.
Film ditutup dengan halusinasi Martin yang melihat refleksi dirinya sebelum menjadi tenar. Mengikutinya ke pantai. Lalu duduk menyendiri di sana
Di tengah bayang-bayang ingatan masa lalunya, Martin berjalan menuju lautan tak berujung. Membuat kita bertanya-tanya, apakah ia bunuh diri? Seperti yang dilakukan Russ. Atau itu semua hanya metafora dari keputusannnya. Kembali bekerja di kapal, merasakan lagi kehidupan yang keras. Namun penuh harapan.
Baca juga: Melihat Disney yang Berbeda di Mulan Live Action Movie (2020)
Kesimpulan
Bagaimanapun, Martin Eden tetap jadi salah satu film Italia yang layak ditonton. Berbeda dengan drama romantis kebanyakan, film satu ini sarat kritik terhadap ketimpangan struktural dalam masyarakat. Sangat cocok untuk kalian yang sedang gandrung dengan isu-isu sosial, tapi juga menikmati drama romantis ála Eropa.